Degung
merupakan salah satu gamelan khas dan asli hasil kreativitas masyarakat Sunda. Gamelan
yang kini jumlahnya telah berkembang dengan pesat, diperkirakan awal
perkembangannya sekitar akhir abad ke-18/awal
abad ke-19. Jaap Kunst yang
mendata gamelan di seluruh Pulau Jawa dalam bukunya Toonkunst van Java (1934) mencatat bahwa degung terdapat di
Bandung (5 perangkat), Sumedang
(3 perangkat), Cianjur (1 perangkat), Ciamis (1 perangkat), Kasepuhan (1 perangkat), Kanoman (1 perangkat), Darmaraja (1 perangkat), Banjar (1 perangkat), dan Singaparna (1 perangkat).
Masyarakat
Sunda dengan latar belakang kerajaan yang terletak di hulu sungai, kerajaan Galuh misalnya, memiliki pengaruh tersendiri
terhadap kesenian degung, terutama lagu-lagunya yang yang banyak diwarnai
kondisi sungai, di antaranya lagu Manintin, Galatik Manggut, Kintel
Buluk, dan Sang Bango. Kebiasaan marak lauk masyarakat Sunda
selalu diringi dengan gamelan renteng dan berkembang ke gamelan degung.
Dugaan-dugaan
masyarakat Sunda yang mengatakan bahwa degung merupakan musik kerajaan atau
kadaleman dihubungkan pula dengan kirata basa, yaitu bahwa kata “degung”
berasal dari kata "ngadeg" (berdiri) dan “agung”
(megah) atau “pangagung” (menak; bangsawan), yang mengandung pengertian
bahwa kesenian ini digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat bangsawan. E.
Sutisna, salah seorang nayaga Degung Parahyangan, menghubungkan kata “degung”
dikarenakan gamelan ini dulu hanya dimiliki oleh para pangagung (bupati). Dalam
literatur istilah “degung” pertama kali muncul tahun 1879, yaitu dalam kamus susunan H.J. Oosting.
Kata "De gong" (gamelan, bahasa Belanda) dalam kamus
ini mengandung pengertian “penclon-penclon yang digantung”.
Gamelan
yang usianya cukup tua selain yang ada di keraton Kasepuhan (gamelan Dengung)
adalah gamelan degung Pangasih di Museum
Prabu Geusan Ulun, Sumedang. Gamelan ini merupakan peninggalan
Pangeran Kusumadinata (Pangeran Kornel), bupati Sumedang (1791—1828).
0 komentar:
Posting Komentar