Dulu
gamelan degung hanya ditabuh secara gendingan (instrumental). Bupati Cianjur
RT. Wiranatakusumah V (1912—1920) melarang degung memakai nyanyian (vokal)
karena membuat suasana kurang serius (rucah). Ketika bupati ini tahun 1920
pindah menjadi bupati Bandung, maka perangkat gamelan degung di pendopo Cianjur
juga turut dibawa bersama nayaganya, dipimpin oleh Idi. Sejak itu gamelan degung
yang bernama Pamagersari ini menghiasi pendopo Bandung dengan lagu-lagunya.
Melihat
dan mendengarkan keindahan degung, salah seorang saudagar Pasar Baru Bandung
keturunan Palembang, Anang Thayib,
merasa tertarik untuk menggunakannya dalam acara hajatan yang
diselenggarakannya. Kebetulan dia sahabat bupati tersebut. Oleh karena itu dia
mengajukan permohonan kepada bupati agar diijinkan menggunakan degung dalam
hajatannya, dan diijinkannya. Mulai saat itulah degung digunakan dalam hajatan
(perhelatan) umum. Permohonan semacam itu semakin banyak, maka bupati
memerintahkan supaya membuat gamelan degung lagi, dan terwujud degung baru yang
dinamakan Purbasasaka, dipimpin oleh Oyo.
Sebelumnya
waditra (instrumen) gamelan degung hanya terdiri atas koromong (bonang) 13
penclon, cempres (saron panjang) 11 wilah, degung (jenglong) 6 penclon, dan
goong satu buah. Kemudian penambahan-penambahan waditra terjadi sesuai dengan
tantangan dan kebutuhan musikal, misalnya penambahan kendang dan suling oleh
bapak Idi. Gamelan degung kabupaten Bandung, bersama kesenian lain digunakan
sebagai musik gending karesmen (opera Sunda) kolosal Loetoeng Kasaroeng tanggal
18 Juni 1921 dalam menyambut Cultuurcongres Java Institut. Sebelumnya, tahun 1918 Rd. Soerawidjaja pernah pula membuat
gending karesmen dengan musik degung, yang dipentaskan di Medan. Tahun 1926 degung dipakai untuk illustrasi film
cerita pertama di Indonesia berjudul Loetoeng Kasaroeng oleh
L. Heuveldrop dan G. Kruger produksi Java Film Company, Bandung. Karya lainnya
yang menggunakan degung sebagai musiknya adalah gending karesmen Mundinglaya
dikusumah oleh M. Idris Sastraprawira dan Rd. Djajaatmadja di Purwakarta tahun 1931.
Setelah
Idi meninggal (tahun 1945) degung tersendat
perkembangannya. Apalagi setelah itu revolusi fisik banyak mengakibatkan
penderitaan masyarakat. Degung dibangkitkan kembali secara serius tahun 1954 oleh Moh. Tarya, Ono Sukarna, dan E.
Tjarmedi. Selain menyajikan lagu-lagu yang telah ada, mereka menciptakan pula
lagu-lagu baru dengan nuansa lagu-lagu degung sebelumnya. Tahun 1956 degung
mulai disiarkan secara tetap di RRI Bandung dengan mendapatkan sambutan yang
baik dari masyarakat. Tahun 1956 Enoch Atmadibrata membuat tari Cendrawasih
dengan musik degung dengan iringan degung lagu palwa. Bunyi degung lagu Palwa
setiap kali terdengar tatkala pembukaan acara warta berita bahasa Sunda, sehingga
dapat meresap dan membawa suasana khas Sunda dalam hati masyarakat.
Pengembangan
lagu degung dengan vokal dilanjutkan oleh grup Parahyangan pimpinan E. Tjarmedi
sekitar tahun 1958. Selanjutnya E.
Tjarmedi dan juga Rahmat Sukmasaputra mencoba menggarap degung dengan lagu-lagu
alit (sawiletan) dari patokan lagu gamelan salendro pelog. Rahmat Sukmasaputra
juga merupakan seorang tokoh yang memelopori degung dengan nayaga wanita.
Selain itu, seperti dikemukakan Enoch Atmadibrata, degung wanita dipelopori
oleh para anggota Damas (Daya Mahasiswa Sunda) sekitar tahun 1957 di bawah asuhan Sukanda Artadinata
(menantu Oyo).
Tahun
1962 ada yang mencoba memasukkan waditra
angklung ke dalam degung. Tetapi hal ini tidak berkembang. Tahun 1961 RS. Darya Mandalakusuma (kepala siaran
Sunda RRI Bandung) melengkapi
degung dengan waditra gambang, saron, dan rebab. Kelengkapan ini untuk
mendukung gending karesmen Mundinglayadikusumah karya Wahyu Wibisana. Gamelan
degung ini dinamakan degung Si Pawit. Degung ini juga digunakan untuk pirigan
wayang Pakuan. Dari rekaman-rekaman produksi Lokananta (Surakarta) oleh grup
RRI Bandung dan Parahyangan pimpinan E. Tjarmedi dapat didengarkan degung yang
menggunakan waditra tambahan ini. Lagu-lagu serta garap tabuhnya banyak
mengambil dari gamelan salendro pelog, misalnya lagu Paksi Tuwung, Kembang Kapas,
dsb. Pada tahun 1964, Mang Koko membuat gamelan
laras degung yang nadanya berorientasi pada gamelan salendro (dwi swara).
Bentuk ancak bonanya seperti tapal kuda. Dibanding degung yang ada pada waktu
itu, surupannya lebih tinggi. Keberadaan degung ini sebagai realisasi teori R.
Machyar. Gamelan laras degung ini pernah dipakai untuk mengiringi gending karesmen Aki Nini Balangantrang (1967) karya Mang Koko dan Wahyu Wibisana.
Tahun
1970—1980-an semakin banyak yang
menggarap degung, misalnya Nano S. dengan grup Gentra Madya (1976), lingkung seni Dewi Pramanik pimpinan Euis Komariah, degung Gapura pimpinan
Kustyara, dan degung gaya Ujang Suryana (Pakutandang, Ciparay) yang sangat
populer sejak tahun 1980-an dengan ciri permainan sulingnya yang khas. Tak
kalah penting adalah Nano S. dengan grup Gentra Madya-nya yang memasukan unsur
waditra kacapi dalam degungnya. Nano S. membuat lagu degung dengan kebiasaan
membuat intro dan aransemen tersendiri. Beberapa lagu degung karya Nano S. yang
direkam dalam kaset sukses di pasaran, di antaranya Panglayungan (1977), Puspita (1978), Naon Lepatna (1980), Tamperan Kaheman (1981), Anjeun (1984) dan Kalangkang yang dinyanyikan
oleh Nining Meida dan Barman Syahyana (1986). Lagu Kalangkang ini lebih
populer lagi setelah direkam dalam gaya pop Sunda oleh penyanyi Nining Meida
dan Adang Cengos sekitar tahun 1987.
Berbeda
dengan masa awal (tahun 1950-an)
dimana para penyanyi degung berasal dari kalangan penyanyi gamelan salendro
pelog (pasinden; ronggeng), para penyanyi degung sekarang (sejak 1970-an)
kebanyakan berasal dari kalangan mamaos (tembang Sunda Cianjuran),
baik pria maupun wanita. Juru kawih degung yang populer dan berasal dari
kalangan mamaos di antaranya Euis Komariah, Ida Widawati, Teti Afienti,
Mamah Dasimah, Barman Syahyana, Didin S. Badjuri, Yus Wiradiredja, Tati Saleh
dan sebagainya.
Lagu-lagu
degung di antaranya: Palwa, Palsiun, Bima Mobos (Sancang),
Sang Bango, Kinteul Bueuk, Pajajaran, Catrik, Lalayaran,
Jipang Lontang, Sangkuratu, Karang Ulun, Karangmantri,
Ladrak, Ujung Laut, Manintin, Beber Layar, Kadewan,
Padayungan, dsb. Sedangkan lagu-lagu degung ciptaan baru yang digarap
dengan menggunakan pola lagu rerenggongan di antaranya: Samar-samar, Kembang
Ligar, Surat Ondangan, Hariring Bandung, Tepang Asih, Kalangkang,
Rumaos, Bentang Kuring, dsb.
0 komentar:
Posting Komentar